Beruang Madu

Beruang Madu

Tuesday, September 18, 2012

Kerajaan Negara Daha

Makam Sultan Suriansyah
Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan Melayu pra-Islam yang pernah eksis di Kalimantan Selatan. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari dua kerajaan sebelumnya, yakni Kerajaan Nan Sarunai yang dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan dan Kerajaan Negara Dipa oleh orang-ornag dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Negara Daha juga merupakan salah satu rangkaian pemerintahan yang kelak menjelma menjadi Kesultanan Banjar yang bercorak Islam.


Sejarah
Riwayat berdirinya Kerajaan Negara Daha sangat bersinggungan dngan sejarah dua kerajaan lain yang menjadi cikal bakal kemunculan kerajaan bercorak Hindu di Kalimantan Selatan. Dua kerajaan yang menjaadi pendahulu Kerajaan Negara Daha tersebut adalah Kerajaan Nan Sarunai dan Kerajaan Negara Dipa. Kerajaan Nan Serunai adalah suatu pemerintahan purba yang diperkirakan sudah eksis sejak zaman sebelum Masehi. Bukti arkeologis yang ditemukan menyebutkan bahwa kerajaan ini mulai muncul anatara tahun 242 - 226 SM dan dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan.
Akibat serangan dari armada Kerajaan Majapahit pada tahun 1355 Masehi dibawah pimpinan Empu Jatmika, Kerajaan Nan Serunai runtuh. Dan Empu Jatmika mendirikan Kerajaan Negara Dipa di Pulau Hujung Tanah yang merupakan bekas wilayah Kerajaan Nan Serunai. Keruntuhan Kerajaan Negara Dipa berawal dari kepemimpinan Raden Sekar Sungsang alias Raden (Maharaja) Sari Kaburangan yang berkuasa sejak tahun 1448 M. Pada masa inilah Kerajaan Negara Dipa mulai menuai keruntuhannya dan pada akhirnya digantikan oleh sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan Negara Daha.
Hikayat Banjar meriwayatkan, beralihnya Kerajaan Negara Dipa menjadi Kerajaan Negara Daha terjadi pada pemerintahan Raden Sekar Sungsang atau Pangeran (Maharaja) Sari Kaburangan yang berkuasa sejak tahun 1448 M. Terdapat peristiwa yang mewarnai pemerintahan Kerajaan Negara Dipa pada masa sebelum dan hingga Raden Sekar Sungsang dinobatkan menjadi raja. Raja terakhir Kerajaan Negara Dipa ini telah menikahi ibunya sendiri, yaitu Putri (Ratu) Kalungsu. Ratu Kalungsu adalah pemimpin Kerajaan Negara Dipa sebelum era pemerintahan Raden Sekar Sungsang, yakni pada periode 1436 - 1448 M.
Kisah perkawinan ini diceritakan dalam Hikayat Banjar. Dikisahkan pada suatu hari ketika Pangeran berusia enam tahun, Putri Kalungsu sedang membuat kue (dalam Hikayat Banjar disebut dengan nama juadah) dan Raden Sekar Sungsang sesekali mendekati ibunya untuk meminta makan. Putri Kalungsu meminta anaknya pergi sejenak sembari menunggu matangnya juadah. Namun, rupanya Raden Sekar Sungsang tidak dapat menahan seleranya, juadah yang belum matang itu dimakannya. Putri Kalungsu menjadi marah dan memukul kepala Raden Sekar Sungsang dengan sendok. Akibat kemurkaan sang ibu, Raden Sekar Sungsang melarikan diri dengan kepala yang masih bercucuran darah menuju pelabuhan. Sementara di istana, Putri Kalungsu memerintahkan pencarian Raden Sekar Sungsang ke seluruh pelosok negeri. Akhirnya diperoleh kabar bahwa sebuah kapal yang berlayar dengan membawa  anak kecil, namun belum dapat dipastikan apakah anak yang dimaksud adalah Raden Sekar Sungsang atau bukan. Mangkubumi Kerajaan Negara Dipa, Lambung Mangkurat, keudian mengirim empat kapal untuk mengejar kapal itu. Empat kapal milik Kerajaan Negara Dipa itu akhirnya tiba di seberang lautan, tepatnya di ujung galuh sebuah tempat yang sekarang dikena dengan nama Surabaya. Akan tetapi, meskipun Lambung Mangkurat telah mengirim sejumlah penyidik untuk mencari tahu keberadaan Raden Sekar Sungsang, namun keberadaan sang pangeran masih belum dapat dilacak.
Sebenarnya Raden Sekar Sungsang ada di Surabay. Ia diangkat anak oleh Juragan Balaba dan mengganti nama menjadi Ki Mas Lelana (Kiai Mas Lalana). Setelah ayah angkatnya meninggal dunia, Ki Mas Lelana tetap tinggal di Surbaya bersama ibu angkatnya. Pada suatu hari, ki Mas Lelana mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke Kerajaan Negara Dipa kepada ibu angkatnya. Karena ketetapan hati anak angkatnya maka janda Juragan Balaba itu mengijinkan Ki Mas Lelana untuk pergi ke Kerajaan Negara Dipa bersama Juragan Dampu Awang yang merupakan sahabat Juragan Balaba.
Sesampainya di pelabuhan Muara Bahan, Juragan Dampu Awang yang dibantu Ki Mas Lelana mulai berdagang. Kebetulan, Lambung Mangkurat sedang berada di pelabuhan. Lambung Mangkurat tampaknya tertarik dengan kecakapan Ki Mas Lelana dan kemudian membujuk Ki Mas Lelana untuk tinggal di istana Kerajaan Negara Dipa. Rupanya, Lambung Mangkurat, yang tidak mengetahui bahwa Ki Mas Lelana sebenarnya adalah Raden Sekar Sungsang, berniat menjodohkan anak muda itu dengan Ratu Kalungsu yang sudah lama menjanda. Pada waktu itu, Ratu Kalungsu adalah penguasa Kerajaan Negara Dipa. Ratu Kalungsu (berkuasa pada periode 1436 - 1448 M) meneruskan tahta suaminya, yakni Raden (Maharaja) Carang Lalean (berkuasa pada kurun 1421 - 1436 M), karena putra mahkota, yaitu Raden Sekar Sungsang, tidak diketahui keberadaanya.
Akhirnya digelarlah pesta perkawinan antara Ki Mas Lelana dengn Ratu Kalungsu. Pada suatu waktu, ketika Ratu Kalungsu sedanng membersihkan kepala Ki Mas Lelana, ia melihat tanda bekas luka di kepala suaminya itu. Ratu Kalungsu kemudian bertanya mengapa luka itu bisa terjadi. Alangkah terkejutnya Ratu Kalungsu mendengar cerita itu. Ki Mas Lelana pun sama terperanjatnya dan memohon ampun serta meminta supaya Ratu Kalungsu membunuhnya. Ratu Kalungsu memutuskan bahwa mereka harus bercerai untuk selama-lamanya. Selain itu, Ratu Kalungsu mngganti nama Ki Mas Lelana aau Raden Sekar Sungsang dengan Raden Sari Kaburangan.
Pada tahun 1448 M, Raden Sari Kaburangan dinobatkan sebagai pemimpin Kerajaan Negara Dipa dan berhak menyandang gelar sebagai Maharaja sebagai simbol penguasa tertinggi. Maharaja Sari Kaburangan berhak menjadi Raja Kerajaan Negara Dipa karena ia adalah putra mahkota yang memang sudah diproyeksikan untuk menduduki tahta Kerajaan Negara Dipa meski kemudian terjadi berbagai peristiwa yang menggemparkan, yakni dimulai dari hilangnya Raden Sekar Sungsang hingga terjadinya peristiwa pernikahannya dengan ibu kandungnya sendiri.
Peninggalan Kerajaan Negara Daha
Setahun setelah Maharaja Raden Sari Kaburangan berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, ia memindahkan kedudukan pusat pemerintahan k Muara Hulak, atau di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Nagara. Sejak tahun1449 M itulah, Kerajaan Negara Daha resmi berdiri. Dalam Hikayat Banjar dikisahkan bahwa tidak lama setelah Kerajaan Negara Daha berdiri, Ratu Kalungsu yang masih tinggal di bekas istana Kerajaan Negara Dipa, menghilang secara misterius (muksa) bersama 500 orang pengiringnya. Pada waktu yang hampi besamaan, sang Mangkubumi, Lambung Mangkurat meninggal dunia. Pengganti Lambung Mangkurat adalah Aria Taranggana untuk mendampingi Maharaja Sari Kaburangan mengelola pemerintahan Kerajaan Negara Daha.
Dengan tampilnya Maharaja Sari Kaburangan sebagai raja di Kerajaan Negara Daha merupakan peristiwa yang menandai pulihnya kembali hegemoni etnis Suku Dayak Maanyan sebagai penguasa di tanah leluhurnya sendiri, sama seperti berlaku pada masa Kerajaan Nan Sarunai dahulu. Di dalam tubuh Maharaja Sari Kaburangan memang mengalir darah Jawa (dari Majapahit) yang diwarisinya dari kakek buyutnya yakni Pangeran Suryanata (penguasa Kerajaan Negara Dipa pada kurun 1362 - 1358 M). Namun, darah Jawa itu sudah memudar karena Maharaja Sari Kaburangan merupakan generasi ke-4 alias buyut. Ini berarti, secara genetik, darah yanng mengalir di dalam tubunya didominsi oleh darah Suku Dayak Maanyan.

Peninggalan Kerajaan Negara Daha
Candi Laras
Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dai zaman Kerajaan Negara Daha adalah penemuan sebuah candi yang kemudian di kenal sebagai  Candi Laras. Candi ini terletak di pinggiran Desa Margasari, Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabuaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Desa Margasari terkenal akan wisata sungainya srta masyarakat yang berprofesi sebagai pengrajin anyaman rotan sejak ratusan tahun. Pada abad ke-14 M, desa ini merupakan gerbang bandar Kerajaan Negara Dipa. Pengujian terhadap tiang bangunan Candi Laras menghasilkan angka tahun dengan kisaran 1240-1426 M. Selain itu, Candi Agung, prasasti yang ditemukan sebelumnya dan yang diduga sudah ada sejak zaman Kerajaan Nan Sarunai, juga masih digunakan pada masa Kerajaan Negara Daha.

Masa Pemerintahan Raja Kerajaan Negara Daha
Era pemerintahan  Maharaja Sari Kaburangan berakhir pada tahun 1486 M. Selanjutanya, tahta tertinggi pemerintahan Kerajaan Negara Daha dilanjutkan oleh Raden Paksa yang kemudian menyandang gelar sebagai Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahan raja ke-2 Kerajaan Negara Daha ini, tepatnya pada tahun 1511 M, Kerajaan Negara Daha menerima kedatangan orang-orang Melayu dari Kesultanan Melaka. Orang-orang Melayu Semenanjung tersebut melakukan migrasi massal seiring dengan takluknya Kesultanan Melaka oleh bangsa Portugis. Para imigran dari Melaka ini kemudian menetap di tepi kiri dan kanan Sungai Kuin atau Muara Kuin (Banjarmasin) dan bergabung dengan suku Melayu lainnya.
Pada akhir era pemerintahan Maharaja Sukawama, terjadilah pertikaian di lingkungan internal Kerajaan Negara Daha. Permasalahan dimulai pada tahun 1515 M, Maharaja Sukarama mengeluarkan wasiat adagar kelak kekuasaan tertinggi Kerajaan Negara Daha dilimpahkan kepada cucunya yang bernama Raden Samudera. Kebijakan ini mendapat tentangan dari ketiga putra Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Aria Mangkubumi, Pangran Tumenggung, dan Panngeran Bagalung.

Keruntuhan Kerajaan Negara Daha
Ilustrasi Perang Raden Samudera
dengan Pangeran Tumenggung
Benih-benih perpecahan mulai tumbuh dikalangan keluarga istana Kerajaan Negara Daha. Ketika Maharaja Sukarama meninggal dunia pada tahun 1525 M, atau sepuluh tahun setelah dikeluarkannya wasiat yang menunjuk Raden Samudera sebagai calon raja, terjadilah perselisihan di antara keturunan Maharaja Sukarama. Pangeran Aria Mangkubumi, yang merasa dilangkahi oleh keponakannya sendiri, merasa tidak terima dan kemudian merebut tahta Kerajaan Negara Daha yang sebenarnya bukan menjadi haknya.
Raden Samudera yang masih berusia belia diungsikan ke hilir Sungai Barito, tepatnya di Muara Kuin. Raden Samudera mendapat perlindungan dari beberapa kelompok suku bangsa yang bermukim di Muara Kuin, terutama oleh komunitas orang-orang Melayu. Oleh orang-orang Dayak Maanyan, kampung orang Melayu di Muara Kuin itu disebut dengan nama "Banjar Oloh Masih", yang berarti kampungnya orang Melayu dengan pemimpinnya yang bernama Pati Masih. Pada tahun 1525 M, Maharaja Aria Pangeran Mangkubumi tewas dibunuh. Setelah Aria Pangeran Mangkubumi meninggal dunia, Pangeran Tumanggung menobatkan dirinya sebagai Raja Kerajaan Negara Daha yang baru.
Sementara itu, Raden Samudera, pewaris tahta Kerajaan Negara Daha yang sah, semakin mendapat tempat dikalangan orang-orang Melayu yang bermukim di Muara Kuin atau Banjarmasih. Dalam pelarian politiknya, Raden Samudera melihat bahwa Banjarmasin merupakan kekuatan potensial untuk mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Negara Daha. Potensi Banjarmasih untuk menentang kekuatan pusat akhirnya mendapat pengakuan ketika Raden Samudera diangkat menjadi pemimpin oleh kelompok Melayu di daerah itu.
Pengangkatan Raden Samudera sebagai pemimpin di Banjarmasih melambangkan terbentuknya kekuatan politik tandingan, perpaduan kultural dan kelak merupakan embrio bagi kelahiran Urang Banjar dan Kesultanan Banjar. Bagi Raden Samudera dengan terbentuknya kekuatan politik baru di Banjarmasih merupakan kekuatan tandingan untuk memperoleh haknya sebagai calon raja yang sah di Kerajaan Negara Daha, sedangkan bagi kelompok Melayu, independensi mereka di Banjarmasih menjadi bentuk perlawanan untuk tidak membayar pajak kepada Kerajaan Negara Daha.
Makam Sultan Suriansyah (1900 M - 1917 M)
Kemudian terjadi perang saudara anata Raden Samudera dengan Pangeran Tumenggung. Perang antara paman dengan keponakan ini memakan korban jiwa cukup besar. Untuk melawan pasukan Kerajaan Negara Daha yang lebih kuat, Raden Samudera meminta bantuan dari Kerajaan Demak (Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengganti hegemoni Kerajaan Majapahit) yang saat itu di pimpin oleh Sultan Trenggono (berkuasa sejak tahun 1524 M). Sultan Trenggono menyanggupi permintaan Raden Samudera dengan syarat, Raden Samudera harus memeluk agama Islam jika ia berhasil memenangkan perang saudara itu.
Lukisan Keraton Banjar
Pada tahun 1526 M, Raden Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung dan resmi menjadi penguasa tunggal di bekas wilayah Kerajaan Negara Daha. Kemenangan Raden Samudera menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Negara Daha sekaligus awal bagi berdirinya Kesultanan Banjar yang bercorak Islam. Setelah mengalahkan Kerajaan Daha, Raden Samudera memeluk agama Islam dan menobatkan dirinya sebagai pemimpin Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suriansyah sejak tanggal 25 September 1526 M. Pusat pemerintahan Kesultanan Banjar berada di Banjarmasih, yang kemudian berubah nama menjadi Banjarmasin sampai dengan sekarang.

Silsilah Raja-raja Kerajaan Negara Daha
Berikut adalah daftar nama raja-raja yang pernah duduk sebagai pemimpin Kerajaan Negara Daha :
Maharaja Sari Kaburangan alias Raden Sekar Sungsang atau Ki Mas Lelana atau Panji Agung Rama Nata (1448 M - 1486 M)
Maharaja Sukarama atau Raden Paksa (1486 M - 1525 M)
Maharaja Pangeran Aria Mangkubumi (1525 M)
Maharaja Pangeran Tumenggung atau Raden Panjang (1525 M - 1526 M)




Sumber :